E-Commerce 2.0, Semua Bentuk Media Harus Dimanfaatkan

Bookmark and Share

Era e-commerce telah berkembang dan kini menuju ke situasi yang disebut era e-commerce 2.0. Secara sederhana, e-commerce 2.0 tak cuma jual beli secara online, tapi melibatkan interaksi di media social seperti Facebook atau Twitter.
Dalam ajang IDBYTE 2011 di Pacific Place, Jakarta yang lalu,  W Hudyana dari Blibli.com berbagi tentang tren e-commerce 2.0 dan bagaimana bisnis menyikapinya.
Ivan mengungkapkan, e-commerce 2.0 didorong tumbuhnya 4th screen seperti televisi, PC, tablet, dan mobile devices yang mendukung akses internet. Ke depan, sambil menonton siaran tertentu, orang juga bisa mengakses internet.
“Sekarang juga tidak harus lewat www, bisa lewat apps atau social, karena orang tidak bisa dipaksa untuk ke www,” kata Ivan. Ke depan, e-commerce harus memanfaatkan media-media lainnya.
Pendorong ketiga adalah adanya secure mobile payment yang sekarang berkembang. Keempat adalah perlunya bergerak tak hanya di online atau offline saja, tetapi terintegrasi.
E-commerce 2.0 membuka kesempatan bagi perusahaan meraih pendapatan dan memenangkan persaingan tanpa harus mengeluarkan modal besar.
Dalam presentasi, Ivan menunjukkan langkah yang dilakukan retailer Korea, Tesco. Dalam video tersebut, tergambar bahwa Tesco menunjukkan produk-produknya lewat layar. Pembeli bisa melakukan transaksi dengan mudah, hanya lewat scan dengan handset. Selanjutnya, barang akan dipaket dan dikirim. Langkah tersebut ditempuh Tesco untuk memenangkan persaingan bisnis harus mendirikan bangunan baru.
Dengan melihat perilaku masyarakat Korea, Tesco akhirnya menemukan strategi jitu itu. Menurut Ivan, dengan strategi itu, Tesco menjadi nomor satu di online, walau tetap nomor 2 di offline.
Langkah Tesco membuktikan bahwa e-commerce bisa membawa keuntungan bagi sebuah bisnis. Di Indonesia, penerapan e-commerce 2.0 membutuhkan persiapan.
Ivan mengatakan, “Langkah yang paling penting adalah edukasi market. Jadi kita harus investasi besar dalam edukasi ini.”
Kedua adalah berupaya menyasar segmen middle class. Saat ini, kalangan middle class dengan penghasilan kurang lebih Rp 20 juta per bulan mulai tumbuh dan menjadi pasar potensial. Namun, ada hal yang mesti diperhatikan. Salah satunya, meski melangkah ke e-commerce, offline tetap dibutuhkan.
Ivan juga menegaskan bahwa e-commerce tidak akan membunuh yang offline. “Jadi seperti mal-mal enggak usah khawatir. Selama ini dipandang kalau ada e-commerce lalu orang enggak ke Mal. Padahal tidak. Di Amerika, orang tetap ke mal, walaupun untuk tujuan berbeda,” kata Ivan.
Hal lain yang juga diperhatikan adalah soal harga, di mana harga di online tidak selalu harus lebih murah. “Bandingkan seperti ini, pasar tradisional lebih murah dan bisa menawar, tapi buktinya orang tetap ke mal,” cetus Ivan.
E-commerce 2.0 berpotensi untuk dikembangkan, terutama dengan adanya jaringan Facebook dan Twitter yang bisa dimanfaatkan. Beragam payment gateway juga bisa menjadi pilihan.
Blibli.com yang dikelola Ivan merupakan salah satu bentuk e-commerce dengan bekerjasama dengan beberapa partner. Diantara partner yang ada, beberapa adalah kalangan usaha kecil menengah.
Ivan mengatakan, ada potensi untuk merangkul usaha kecil menengah ke e-commerce. Selain membawa peluang bisnis, langkah ini juga turut memberdayakan usaha tersebut sehingga bisa berkompetisi dengan yang brand lainnya.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar

Powered By Blogger