Mbah Redjo, Potret Kemandirian Seorang Nenek

Bookmark and Share

Saat matahari belum bangkit dari peraduan dan ayam jantan masih lelap dibuai malam, Rubiyah yang biasa dipanggil Mbah Redjo justru tengah sibuk mengemasi mainan dagangannya. Usai salat Subuh ia pun berangkat menuju pasar. Tak ada kawan maupun pengantar, hanya derap langkah kaki tua yang menemani Mbah Redjo menyusuri jalan sepanjang 15 kilometer dari Dusun Pandes di Bantul, Yogyakarta.
Dibutuhkan waktu dua jam untuk mencapai Pasar Gamping, Sleman, tempatnya mengais rupiah. Di sebuah lapak kecil, nenek berusia 80 tahun ini menggelar dagangannya. Mainan buatan Mbah Redjo dijual dengan harga antara Rp 1.000 hingga Rp 4.000. Rata-rata ia bisa mendapat Rp 25 hingga Rp 50 ribu. Nilai itu cukup untuk modal dan makan selama dua hari.
Semangat Mbah Redjo ini menjadi inspirasi bagi pedagang lain di Pasar Gamping. Meski sudah uzur, Mbah Redjo tak mau berpangku tangan dan tetap memproduksi beragam mainan kegemaran anak-anak. 
Mata tuanya tak boleh lengah, karena bahaya terkena senjata tajam selalu mengancam. Tak jarang jari Mbah terkena golok ataupun gergaji saat membelah bambu. Tapi semua itu tak dirisaukannya. “Ya nggak pernah susah, Mas, senang saja. Punya uang nggak punya uang saya itu senang. Kalau dibikin susah, sakit trus malah mati kan,” tuturnya. 
Sudah 30 tahun lebih Mbah Redjo berjualan mainan. Dulu ia biasa berjalan kaki hingga Purworejo dan Purwodadi sambil menginap di pasar. Semua itu ia lakukan untuk menghidupi tiga anaknya setelah sang suami tiada. Kini, setelah anak-anaknya dewasa, si Mbah tetap tak ingin menyusahkan mereka.
“Kalau tidak berjualan saya tidak bisa makan. Mau minta anak, anak pun tidak punya uang. Anak juga cuma buruh di sawah. Kalau di sawah paling cukup buat diri sendiri. Bayarannya paling Rp 25 ribu, kalau untuk menghidupi tiga anak kan tidak cukup,” jelas Mbah Redjo.
Dusun Pandes di Bantul terkenal sebagai sentra mainan tradisional sejak pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Kini tinggal delapan pembuat mainan tradisional yang tersisa dan hanya Mbah Redjo yang menjualnya langsung ke pasar.
Di balik semua itu, kemandirian Mbah Redjo dalam mengisi hidup menjadi cermin bagi generasi muda untuk giat berkarya di tengah serbuan modernisasi yang menghimpit mainan produksinya.(ADO)

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar

Powered By Blogger